Kabar Desa

Pembangunan Ikon Selamat Datang Sendratari Arjuna Wiwaha Kota Batu dari Sudut Pandang Seni

Diterbitkan

-

Pembangunan Ikon Selamat Datang Sendratari Arjuna Wiwaha Kota Batu dari Sudut Pandang Seni

Memontum Kota Batu – Pembangunan ikon selamat datang Sendratari Arjuna Wiwaha di Jalan Kawi, Kelurahan Sisir, Kecamatan/Kota Batu, mendapat perhatian seniman sekaligus budayawan Kota Batu.

Ditemui di kediamannya di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Rabu (17/08/2022) tadi, Dr Slamet Hendro Kusumo, memberikan perhatiannya dari sudut pandang seni. Dirinya menyampaikan apresiasinya terhadap pembangunan gapura, yang bertujuan sebagai ikon wisata yang mengandung unsur seni. Salah satunya, tentang bentuk Gunungan yang biasa terdapat pada pagelaran seni pewayangan.

Menurutnya, seni adalah hal yang imajinatif. Oleh sebab itu, tidak bisa dinilai dengan materi.

Ditambahkannya, ada perbedaan yang sangat mendasar pada seni perspektif Barat dan Timur. Di Barat, seniman memiliki kebebasan yang lebih tinggi. Terkadang, seni yang mereka buat menubruk pola tradisional.

Advertisement

“Bahkan, bisa bertolak belakang dari nilai dasarnya. Misal, karya Monalisa tiba-tiba wajahnya diganti. Pada awalnya, lukisan itu disakralkan. Namun sekarang, jadi seni yang sudah direduksi,” ujarnya.

Berbeda halnya jika di Timur, Asia bahkan Indonesia, kata Slamet, apa yang terjadi di Barat tidak terjadi di sini. Karena di Timur, banyak menjelaskan tentang tiga dunia yakni dunia bawah sadar, rasio dan simbolistik atau simbol-simbol yang dianggap suci.

“Ketika bicara bawah sadar, orang akan berpikir tentang dunia yang diagungkan. Memang, dunia ini berbenturan dengan rasio, tapi itu diyakini,” terangnya.

Sedangkan dunia rasio, paparnya, adalah hal apa yang bisa diraba dan disepakati sesuai konvensi. Ada nilai-nilai yang diyakini secara subyektif dan obyektif. Lalu, nilai yang dibangun atas kesepakatan dan yang dibangun atas fakta. Empat nilai ini, berbenturan di masyarakat kita saat ini.

Advertisement

Baca juga:

Sedangkan dunia simbol-simbol suci, ungkapnya, ada dua hal. Pertama bisa dikaitkan dengan legenda cerita-cerita rakyat, yang kedua tentang mitologi, yakni hal-hal yang disakralkan.

“Gunungan dalam hal ini, di Indonesia khususnya masyarakat Jawa, itu sangat disakralkan. Sehingga, jika terjadi pembelahan, meskipun di dunia seni itu boleh-boleh saja sesuai interpretasinya. Tetapi ketika Gunungan itu disakralkan, pertanyaannya satu, kita hidup di Timur atau Barat? Jika kita hidup di Timur, hal-hal yang bersifat disakralkan itu jangan ditabrak agar tidak ada konflik,” urainya.

Berbeda halnya dengan candi yang terbelah seperti di jalur masuk ke suatu tempat. Bangunan seperti itu banyak ditemui di Jawa. Hal itu bisa dilakukan, karena telah ada konvensi di masyarakat dahulu yang bertahan hingga saat ini.

Slamet juga memberikan contoh apik, yang pernah terjadi di Kota Batu. Yakni, polemik bangunan apel di Alun-alun Kota Batu. Bangunan ini sempat menuai kritik karena dijadikan sebagai toilet, padahal apel adalah simbol kemakmuran pertanian Kota Batu.

Advertisement

“Pernah terjadi juga tentang Apel. Itukan hampir mirip, hanya saja apel itu produk pertanian. Tidak ada mitologinya, tetapi diyakini sebagai simbol kemakmuran. Berbeda kalau gunungan ini ada mitologinya. Apalagi, bagi orang-orang yang mendalaminya atau lelaku Jawa, itu sesuatu hal yang tidak bisa diganggu.  Ada juga bentuk-bentuk yang tidak terlalu nampak seperti yang di tari-tarian Arjuna Wiwaha. Itu bentuk gunungan, tapi kesatuannya terbaca walau dibentuk dengan pola pendekatan seni kontemporer,” ungkapnya.

Slamet menyarankan, Gunungan yang terpisah itu dikembalikan menyatu agar tidak berpotensi memunculkan polemik. Dinas Pariwisata memiliki tujuan yang baik, namun asumsi dari konsepnya masih belum tepat.

Slamet menyarankan, agar ke depan pembuatan simbol-simbol yang mengandung nilai sakral dikerjakan dengan hati-hati. Pemerintah Kota Batu dianjurkan untuk bisa berdiskusi dengan para seniman maupun budayawan. Hal itu penting dilakukan, agar menghindari kesalahan-kesalahan pemaknaan.

“Makannya harus hati-hati. Kalau kita orang Timur, jangan menabrak yang sifatnya disakralkan. Itu saja sebetulnya, apalagi inikan masalah norma etik yang juga berkaitan dengan estetika. Barat mengukur rasa dengan logika, tapi kalau di Timur mengukur logika itu dengan rasa. Tentu berbeda cara pandang ini,” tegas lulusan Doktoral Sosiologi Univeristas Muhammadiyah Malang ini.

Advertisement

Atas kejadian ini, Slamet mengajak agar ada instropeksi bersama. Masyarakat diimbau jangan menghukum pihak yang mungkin tidak tahu tentang nilai-nilai budaya dan seninya. Pemerintah sendiri juga harus belajar tentang makna-makna yang tidak boleh dilanggar karena itu bersifat etik dan mitos.

“Pemerintah harus membentuk orang-orang ahli, kalau belum punya bisa bertanya. Kalau tidak mengerti kebudayaan, ya bisa bertanya,” ujarnya.

Bagi Slamet, timbulnya polemik ini di masyarakat, tentunya memunculkan berkah tersendiri. Berkahnya, yakni bisa melihat dan mempelajari kembali nilai-nilai luhur yang terkandung. Karena, nilai-nilai ini sudah mulai pudar di masyarakat dan perlu ada penguatan agar tidak hilang. Dan untuk menghadirkan sebuah karya seni, sekalian bisa dibuat karya yang spektakuler dan totalitas. (bir/sit)

Advertisement
Advertisement
Click to comment

Tinggalkan Balasan

Terpopuler

Lewat ke baris perkakas